Kamis, 02 Desember 2010

Pajak 10% terhadap Warteg : Bukti Nyata Pemerintah Ingin Membinasakan Rakyat Miskin

Pajak 10% terhadap Warteg : Bukti Nyata Pemerintah Ingin Membinasakan Rakyat Miskin

“Prinsip equality”. GILA??? Prinsip keadilan dari mana yang menganggap pengenaan pajak 10% terhadap warteg/PKL/warung kecil adalah adil. Memang jika peraturan ini benar-benar akan dilaksanakan,kemungkinan akan didapatkan 50 miliar/ tahun tambahan bagi pemerintah. Tetapi bukankah ini akan sangat menyengsarakan konsumen dari warung kecil itu sendiri, yang notabene adalah kaum miskin.

Ketika ditanya kenapa warung-warung kecil juga dikenakan pajak, mereka dengan entengnya menjawab, “Biar Adil, semua rumah makan, restoran, dan warung akan kami kenakan pajak!” Mungkin bagi para konsumen dan pemilik rumah makan dan restoran-restoran ternama dan mahal, hal itu cukup pantas mengingat pengunjung dan omzet harian mereka yang sangat tinggi dan tingkat kesejahteraan mereka yang cukup mewah. Tetapi ketika hal itu diterapkan pula terhadap warung rakyat miskin, akan terjadi “pembunuhan massal”. Atau mungkin pemerintah memang ingin membunuh orang miskin, kaum-kaum proletar yang sebenarnya lebih membutuhkan uang daripada sekedar untuk pajak yang kadang malah disalahgunakan oleh pihak-pihak birokrasi terkait.

Di sisi lain, pajak terhadap iklan-iklan komersil, baik elektronik, surat kabar, banner, poster dll belum maksimal dalam pengelolaannya. Seolah-olah pemerintah ingin membunuh kaum miskin dan membiarkan perusahaan-perusahaan kaya tanpa pajak. Bukankah lebih bijak jika pemerintah meningkatkan pajak terhadap barang-barang mewah milik kaum-kaum kapitalis kaya, daripada memburu pajak dari kaum miskin yang tidak seberapa. Atau mungkin memang lebih baik kita dukung GERAKAN TIDAK MEMBAYAR PAJAK.

Rabu, 01 Desember 2010

MAHASISWA INDONESIA : MASIH KRITISKAH MEREKA SEKARANG???

Mahasiswa, sebagai kaum terpelajar tingkatan tertinggi di dunia dan kaum pelopor perubahan kini sedang mengalami crisis identity. Mereka terpecah belah menjadi berbagai kelompok, baik atas dasar tingkatan ekonomi, strata sosial, bahkan ideologi politik. Hal itu diperparah oleh birokrasi iahan kampus, sebagai perpanjangan tangan pemerintah, yang menghalangi segala cara yang dapat mengembalikan peran mahasiswa yang sesungguhnya, sebagai agent of control dan agent of change.
Berbagai cara dilakukan pihak birokrasi untuk mematikan sifat kritis mahasiswa, diantaranya :
1.Pemecahan Konsentrasi Mahasiswa
Disadari atau tidak, mahasiswa kini tidak lagi “SATU”, tetapi terpeceah belah menjadi fakultas, jurusan, bahkan program studi. Coba tanyakan pada seorang mahasiswa, berapa kawan mahasiswa dari jurusan atau fakultas yang berbeda dengan dirinya yang dia kenal? Pergaulan mahasiswa memang sedang dikebiri agar mahasiswa tidak memiliki jaringan komunikasi yang luas. Dengan dalih, agar mahasiswa lebih terfokus terhadap ilmu yang ditekuninya, hak mahasiswa untuk berorganisasi secara luas telah dikebiri. Hal ini tidak hanya terjadi pada mahasiswa umum, organisasi mahasiswa, sebagai media perwujudan gerakan mahasiswa pun, tengah mengalami perpecahan. Secara global, telah terjadi perpecahan dan persaingan baik antara OMIK dan OMEK, HMJ dan BEM, LSO dan BEM, HMJ dan HMJ, OMEK dan OMEK, dan sebagainya.

2.Biaya Pendidikan yang Tinggi
Hal ini merupakan tantangan terberat bagi mahasiswa. Jelas saja, hampir 80% mahasiswa Indonesia berasal dari kaum menengah, bahkan sebagian adalah kaum miskin. Dengan biaya pendidikan yang terlalu tinggi, seorang mahasiswa mempunyai tanggung jawab moral terhadap orang tuanya agar bisa cepat lulus, agar biaya yang dikeluarkan tidak terlalu tinggi. Sehingga mereka seolah melupakan tugas penting mahasiswa yang lain, yaitu berorganisasi dan peduli terhadap rakyat kaum proletar. Padahal kalau dihitung-hitung, berdasarkan gaji dosen, fasilitas ruangan, dan kebutuhan proses pembelajaran lainnya, biaya pendidikan sebenarnya tidak mencapai 50% dari biaya yang diterapkan oleh pihak birokrasi kampus.

3.Pengalihan Peran Fungsi Organisasi Mahasiswa
Organisasi Mahasiswa (OM) kini seolah hanya menjadi event Organizer (EO) pihak-pihak birokrasi kampus. OM saat ini taidak lagi menitik beratkan peran fungsinya untuk mengayomi mahasiswa, pada khususnya dan rakyat pada umumnya, tetapi lebih terfokus terhadap program-program kerja tahunan, yang bahkan tidak ada hasil nyata yang dapat menghasilkan perubahan. Hal itu hanya dilakukan agar OM tersebut mempunyai “nama” dan mendapatkan dukungan dana dari pihak birokrasi. Tentu saja program kerja yang dikerjakan oleh OM tadi harus sesuai dengan kemauan kampus, tidak bolah “melenceng” dari berbagai koridor aturan yang menghalangi daya kritis mahasiswa.

4.Peraturan Pengendali Mahasiswa
Banyak peraturan, baik yang diterbitkan oleh pemerintahan pusat maupun intern kampus yang diterapkan untuk mengendalikan konsentrasi mahasiswa. Sebut saja aturan 80% presensi agar dapat mengikuti ujian, DO bila akumulatif semester mahasiswa melebihi 14 semester, pengendalian media massa intern kampus, dll.

Sengaja atau tidak berbagai kebijakan dan permasalahan yang dihadapi oleh mahasiswa tadi akan mengubah cara pandang dan kehidupan seorang mahasiswa. Tetapi berbagai permasalahan tadi bukanlah suatu alasan rasional yang dapat dijadikan sebagai tameng untuk “KEDIAMAN” seorang mahasiswa. Ingatlah kawan-kawan mahasiswa, di tangan dan pundak kita terdapat tanggung jawab sosial untuk dapat menyejahterakan KAUM PROLETAR.