Rabu, 12 September 2012

Sebuah Cerita Tentang Kawan Lama,..

Sebuah Cerita Tentang Kawan Lama,.. Hmph, hari ini aku terkenang akan seorang kawan lama, kawan 1 sekolahku dulu. Satu yang kuingat tentang dia adalah perdebatan kami tentang perilaku kaum Intelektual Muda Indonesia di jaman penjajahan. Aku berkata, “ Kalau aku seorang Intelektual Muda Indonesia yang hidup jaman penjajahan dulu, pasti aku akan berperang melawan penjajah, dan takkan pernah mau menerima bantuan/bekerja pada kaum penjajah”, dia pun menyetujui pendapatku dan berkata, “ Kalau kaum intelektual saja sudah mau diperbudak oleh kaum penjajah hanya demi harta dan kekuasaan, lalu siapa lagi yang akan membela kaum miskin Indonesia”. Selepas SMA, kami berdua mengikuti ujian SNMPTN dengan pilihan jurusan yang berbeda, tetapi kami saling menguatkan dan belajar bersama. Maklum kami bukanlah anak seorang yang kaya raya yang dapat diterima oleh jurusan di kampus yang kami tuju dengan jalur “Mandiri”, yang kami lakukan hanya belajar dan berdoa agar kami bisa diterima lewat jalur SNMPTN. Kami juga tidak bisa mengikuti “bimbingan belajar” yang optimal agar dapat mengkatrol kemampuan dan menunjukkan kisi-kisi ujian secara sempurna. Kami berdua hanya belajar dari buku-buku paket SMA dan catatan dari guru SMA kami. Singkat cerita kami berdua mengikuti ujian SNMPTN dan ternyata pengumuman yang kami dapat tidaklah sesuai dengan harapan kami, yups kami berdua gagal diterima di jurusan yang kami tuju. Dia berpendapat bahwa mungkin ini memang sudah takdir, dan dia putuskan untuk tetap kuliah pada jurusan yang sama, tetapi di lain kampus. Sebenarnya kampus yang dia masuki bukanlah kampus yang “terpandang”, bahkan cenderung sebagai kampus kelas dua. Tetapi dia tetap mengikuti perkuliahan dan kehidupan kampusnya dengan semangat tanpa peduli cibiran dan cemoohan kawan-kawan SMA kami tentang kampusnya. Dia percaya bahwa kampus hanyalah sebuah media untuk pembentukan diri, bukanlah suatu penentu keberhasilan seseorang. Berbeda dengan kawan-kawan SMA kami di “kampus ternama” yang cenderung bersantai-santai karena yakin akan nasib dan jurusan mereka yang sudah sempurna, yang mereka anggap secara pasti akan membuat mereka menjadi orang yang berhasil dan kaya raya, kawanku tadi tidak mengenal kata bersantai-santai. Dia berangkat pagi, naik bis kota, mengikuti kuliah, mengerjakan tugas, beraktivitas di organisasi mahasiswa, menjadi asisten di berbagai laboratorium dan praktikum. Kawanku tadi benar-benar berubah dari seorang yang pendiam dan pasif di jaman SMA menjadi seorang mahasiswa aktivis dan akademis yang berhasil mengoptimalkan di kedua sisi kehidupan kampus. Berbagai kegiatan dia ikuti, berbagai perlombaan keilmuan dia jalani, dan berbagai seminar dan buku dia dalami secara seksama dan tanpa pernah berhenti. Empat tahun masa kuliah kini telah dia lewati, dia diwisuda. Dia menjadi Wisudawan terbaik di jurusannya, dan menurutku tidak hanya secara akademik dengan IPK yang “Sangat Memuaskan”, tetapi juga menjadi satu-satunya aktivis mahasiswa yang bisa meraih Gelar Wisudawan Terbaik,dan itu jarang kutemui, seorang aktivis yang berhasil meraih IPK memuaskan. Dengan latar belakang akademik yang memuaskan, jiwa kepemimpinan dan organisasi yang tertempa di berbagai organisasi, serta pengalaman sebagai asisten di berbagai praktikum dan laboratorium, aku punya keyakinan yang sangat kuat bahwa dia akan bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang berskala local, nasional, dan bahkan multinasional. Tebakanku benar, 1 minggu sebelum dia diwisuda dia sudah mendapatkan panggilan dari beberapa perusahaan multinasional yang aku sendiri iri dan ingin masuk perusahaan tersebut. Ketika dia bertanya kepadaku harus memilih yang mana, jelas kusarankan memilih pekerjaan yang menjanjikan gaji terbesar, haha, . Dia pun mengangguk-angguk seolah setuju denganku. Satu tahun semenjak pertanyaannya tersebut, atau 5 tahun semenjak aku dan kawanku tersebut lulus SMA, aku bertemu lagi dengan kawanku tersebut. Aku pun penasaran pekerjaan diperusahaan mana yang dia pilih,? Aku pun bertanya kepadanya, “ Pekerjaan di perusahaan apa yang kamu pilih? Perusahaan minyak, pesawat terbang, mobil, atau alat berat???” Dia pun menjawab dengan pasti, “Tidak Kawan, Aku saat ini menjadi Guru SD di Desa Terpencil”. Aku pun dengan kaget bertanya padanya, “ Kok malah jadi guru, bukankah kamu bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi dari itu???”. Dia pun menjawab, “ Kalau saat ini aku bekerja untuk perusahaan multinasional tersebut, lalu apa bedanya aku dengan kaum Intelektual Muda Indonesia yang pada jaman penjajahan dulu membantu kaum penjajah dan melupakan kaum miskin Indonesia? Bukankah kita dulu telah sepakat untuk membenci golongan intelektual yang tidak memperdulikan kaum miskin? Beranikah kamu menjadi seorang pejuang rakyat???”. Ketika kutulis artikel ini lagu milik Wiji Tukul pun mengalun dengan indah, lagu yang mengingatkanku tentang idealisme masa muda yang mulai luntur tergerus kebutuhan ekonomi. “Apa guna punya ilmu tinggi, kalau hanya untuk mengibuli Apa guna banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu Di mana-mana rakyat dipaksa menjual tanah, tapi dengan harga murah Di kota-kota buruh dipaksa bekerja keras, tapi dengan upah rendah” (Wiji Tukul – Apa Guna)

Untuk Apakah Manusia Dilahirkan???

Untuk Apakah Manusia Dilahirkan??? By : Rahadian Galih Adiaksa Suatu saat kita akan sampai pada suatu titik dimana kita akan mulai bertanya dan terus bertanya tentang apa sebenarnya arti dan tujuan hidup kita??? Apakah hanya untuk bersenang-senang dalam kebahagiaan duniawi, bermuram durja karena dosa-dosa kita yang akan dipertanggunggjawabkan nanti di akhirat, atau untuk tujuan yang lai??? Kita akan cukup lama berkubang pada rasa bimbang, keresahan, kegundahan hati yang sangat dalam tanpa pernah mengerti apa sebenarnya yang kita risaukan… Banyak manusia berpendapat bahwa dengan kehadirannya dunia akan menjadi lebih baik. Dia melakukan semua hal yang dianggap bisa merubah dunia, manusia melakukan semuanya yang terbaik. Tetapi kembali tergelitik untuk bertanya, “Jika dengan kehadiran manusia dunia bisa jadi lebih baik, lalu apakah saat ini dunia telah lebih baik daripada saat dimana manusia belum tercipta???”, “Apakah alam semesta ini telah baik? Lebih sehat untuk ditempati makhluk hidup yang lain? Lebih bermakna dan sejahterakah alam semesta ini dengan kehadiran kita?” Ataukah sebenarnya yang kita lakukan adalah merubah kondisi alam semesta ini untuk sesuai dengan keinginan dan kebaikan kita sendiri?? Sebagian manusia terlalu sibuk untuk memperkaya diri dan keluarganya. Mungkin dia terlalu takut dirinya keluarganya akan mati kelaparan, atau mungkin terlalu takut kehidupannya akan hancur saat dia tidak bisa membeli Rumah, Mobil, atau “Pendidikan Terbaik” untuk anaknya. Terlalu sibuk manusia dengan kehidupannya, hingga dia melupakan kondisi manusia lain di sekitarnya, kondisi kaum-kaum proletar, kaum-kaum petani di desa, nelayan di pantai, dan buruh pabrik di pinggiran kota. Dia melupakan tanggung jawab sosialnya terhadap manusia lainnya. Dia melupakan hal itu. Sebagian yang lain berorientasi terhadap rohaninya, sesuatu yang manusia anggap sebagai iman, Tuhan. Dia hidup dalam imajinasi liarnya tentang Tuhan dan Beribadah. Dia hidup dalam sebuah dunia lain yang aku sebut sebagai Alam Pelarian. Alam dimana manusia tersebut lari dari tanggung jawabnya untuk memperbaiki dunia. Dia terlalu sibuk dengan pemikirannya sendiri. Kita akan terus berdiskusi dengan sahabat, saudara, kekasih, malam, alam, bahkan Tuhan tentang tujuan hidup kita. Tapi, takkan ada satu jawaban yang bisa memuaskan kebimbangan kita, ketidakpahaman akan pertanyaan tadi. Tapi nikmatilah saat-saat itu terjadi, karena sesuai kata-kata Karl Marx, “Ketidakmapanan-lah yang menciptakan kemampuan”. Nikmatilah saat-saat dimana manusia mulai memikirkan arti dan fungsinya di dunia, karena saat itulah sebenarnya karakter dari manusia tersebut dibentuk. Tunggulah saat itu terjadi, nikmatilah ketika saat itu terjadi, dan kenanglah memori saat itu telah berakhir,.. Karena ketika saat itu berakhir sebenarnya kita telah menyelesaikan tugas kita sebagai seorang “Pemimpin di Dunia”.