Selasa, 20 April 2010

Emansipasi Wanita : Sebuah Filosofi yang (kadang) Keblabasan

Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka

Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
(Ibu Kita Kartini - W.R. Soepratman)


Saya rasa semua orang, baik itu wanita maupun pria setuju bahwa R.A. KArtini adalah sosok yang cukup inspiratif. Ide-idenya tentang persamaan gender, persamaan hak dalam bidang pendidikan, sosial, dan politik antara wanita dan pria sedikit banyak telah berpengaruh bagi perkembangan kultur sosial di Indonesia (khususnya). Tetapi, apakah perkembangan emansipasi wanita saat ini telah sesuai dengan cita-cita luhur Beliau? apakah kira-kira seandainya Beliau hidup dan melihat kondisi kaum yang diperjuangkan semasa hidupnya seperti sekarang ini merasa bangga atau malah sedih?

Ketika kita berbicara "Emansipasi Wanita" kita akan dihadapkan sebuah paradigma (yang menurut saya) keliru, banyak wanita menganggap bahwa emansipasi wanita bisa terwujud ketika wanita telah bisa "sederajat" dalam segala hal dengan pria. Lihat saja sekarang, berapa banyak wanita-wanita yang lebih mengedepankan karir mereka ketimbang mengurusi urusan keluarga? atau ketika wanita-wanita tersebut melupakan kodrat alamiah mereka untuk memberikan AsI kepada anaknya, tetapi dengan dalih pekerjaan dan kesibukan, mereka menolaknya, bahkan mempercayakan susu hasil buatan pabrik untuk anak mereka. Seolah mereka lebih bangga menjadi seorang "wanita karir yang sukses" daripada menjadi seorang "ibu yang baik".

Saya tidak menyalahkan kaum wanita akan hal ini, karena sesungguhnya fenomena ini adalah hasil dari perubahan kultur sosial yang baik disadari maupun tidak juga didukung oleh kaum pria. Beberapa pria memilih wanita yang mempunyai karir dan pendidikan tinggi, dengan alasan mereka terlihat lebih pintar, berwawasan, dan juga dapat membantu mencari nafkah. Maka kaum wanita pun seolah berlomba-lomba untuk mendapatkan jenjang pendidikan maupun karir yang setinggi-tingginya. Bahkan sekarang telah timbul fenomena "sang istri kerja, sedangkan suami mengurus anak di rumah". Lalu pertanyaan pun muncul, "Apakah ini yang disebut emansipasi? atau ini adalah "penjajahan atas wanita" dalam versi yang baru?"

Coba Anda lihat di tayangan televisi atau sekeliling Anda, berapa banyak perceraian ataupun pertengkaran keluarga yang terjadi karena fenomena ini? Lalu coba tanyakan pada nenek atau kakek Anda, apakah pada zaman dulu tingkat perceraian juga setingggi saat ini? Ini adalah salah satu bukti nyata bahwa telah terjadi perubahan mendasar akan kultur sosial di masyarakat. Menurut analisa saya, zaman dulu pergaulan dunia, secara khususnya pernikahan, dapat berjalan lancar karena istri memang menjadi "wanita" yang sesungguhnya. Mereka melaksanakan tugas wajib mereka, seperti : merawat anak, menjaga keluarga, memasak, dan seandainya mereka juga bekerja, mereka bekerja hanya sebagai sampingan ketika tugas utama mereka telah selesai. Sedangkan sekarang, banyaknya kasus perceraian terjadi karena seorang istri jarang ada di rumah, kurangnya perhatian istri akan keluarga dan suaminya, percekcokan hanya karena gaji istri lebih tinggi daripada suami. Seringnya seorang istri ataupun wanita keluar malam (merokok dan mabuk-mabukan), dengan dalih kebebasan, pun acapkali terjadi.Lalu inikah yang disebut "Kebebasan Wanita".

Tulisan ini saya tujukan bukan untuk mematikan perkembangan "Emansipasi Wanita", tetapi sebagai cermin untuk kita semua, baik wanita maupun pria, sudah sesuaikah kehidupan yang kita jalani dengan kodrat alami kita? Terserah Anda mungkin menganggap saya penganut feminisme atau genderisme, tapi saya ingin wanita tahu mana batas antara "persamaan hak" dan "melupakan kodrat" mereka. Akhir kata "SELAMAT HARI KARTINI, WANITA INDONESIA"

"Wanita adalah akan sempurna ketika mereka tahu bagaimana cara bersikap menjadi seorang wanita"

Tidak ada komentar: